Sabtu, 30 November 2013

Koperasi itu?



Aku tidak tahu apa itu sosialisme, komunisme ataupun anarkisme, karena  tidak pernah berada dalam keadaan itu. Terpaksa untuk menyadari bahwa kehidupan telah membawa aku masuk ke dalam keadaan yang diharapkan bapak ekonomi modern.  Mengantarkan masuk ke dalam lubang yang tak jauh berbeda dengan yang dulu dan mungkin lebih parah. Ya, keadaan dimana  tuntutan  untuk lebih kompetitif dalam meningkatkan nilai tambah.
Semua berlari untuk memperoleh nilai tambah dan mengakumulasi, guna terciptanya suatu keadaan timpang dalam tatanan kehidupan. Berbagai cara talah ditempuh untuk  menyeimbangkan keadaan, termasuk menabuh genderang perang melawan keadaan. Namun, suara genderang  terlalu kecil untuk didengar, bahkan lebih kecil dari tangisan semut merah.
Genderang perang tersebut merupakan gerakan demokrasi ekonomi, atau lebih familiar di sebut koperasi. Kamu, pernah dengar koperasi, bukan? Ya, suatu badan usaha yang berlandaskan pada asas kekeluargaan dan demokrasi. Sering juga disebut oleh bapak koperasi kita sebagai soko guru perekonomian bangsa. dikukuhkan dengan keberpihakan pemerinatah terhadap koperasi, serta pengakuan dunia terhadap adanya induk koperasi dunia (ICA).
Namun kini, genderang perang mulai disalahtafsirkan oleh para prajurit. Mereka menganggap hal tersebut merupakn tanda untuk bersekutu dengan sang bapak untuk mencari nilai tambah. Tak heran, jika kamu memandang hina dan jijik karena genderang sudah berubah tafsir dari “KOPERASI” menjadi “KUPERASI”. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya Koperasi penghisap darah, wajar jika disebut Lintah Darat. Mereka, di butakan oleh suku bunga yang rendah, pembagian sisa hasil usaha, dan pelaksanaan secara demokrasi. Semua itu hanyalah secuil janji manis dari sang pemilik modal.
Syahdan, seorang janda tua yang tinggal bersama ke lima kucingnya di belantara pohon beton, mendengar suara genderang  yang begitu gagah menyuarakan isu sosial demokrasi. Suara tersebut membuat sang janda terbuai akan indahnya mimpi tentang keadilan dan  demokrasi, karena nyanyian sang parjurit. Namun, setelah sang janda terjaga dari mimpinya, ia menyadari bahwa genderang dan nyanyian sang prajurit adalah bohong belaka. Tak ada keadilan, tak ada demokrasi, dan tak ada lagi prajurit yang menyanyikan gerakan demokrasi  ekonomi. Kini yang tersisa hanyalah teriakan, makian dan cercaan deri genderang “KUPERASI” untuk mencari nilai tambah. Sang  janda kini hanya terdiam seribu bahasa melihat kelima kucing miliknya mati perlahan karena  menahan lapar.
Janda tua tesebut hanyalah salah satu korban dari suara genderang yang disalahtafsirkan oleh prajurit yang bersekutu dengan sang bapak. Semoga genderang yang kita miliki masih berada di tangan parjurit yang rela mati melawan sang bapak.