Aku tidak tahu apa itu sosialisme, komunisme ataupun anarkisme,
karena tidak pernah berada dalam keadaan
itu. Terpaksa untuk menyadari bahwa kehidupan telah membawa aku masuk ke dalam
keadaan yang diharapkan bapak ekonomi modern.
Mengantarkan masuk ke dalam lubang yang tak jauh berbeda dengan yang dulu
dan mungkin lebih parah. Ya, keadaan dimana tuntutan untuk lebih kompetitif dalam meningkatkan
nilai tambah.
Semua berlari untuk memperoleh nilai tambah dan mengakumulasi, guna
terciptanya suatu keadaan timpang dalam tatanan kehidupan. Berbagai cara talah
ditempuh untuk menyeimbangkan keadaan,
termasuk menabuh genderang perang melawan keadaan. Namun, suara genderang terlalu kecil untuk didengar, bahkan lebih
kecil dari tangisan semut merah.
Genderang perang tersebut merupakan gerakan demokrasi ekonomi, atau lebih
familiar di sebut koperasi. Kamu, pernah dengar koperasi, bukan? Ya, suatu
badan usaha yang berlandaskan pada asas kekeluargaan dan demokrasi. Sering juga
disebut oleh bapak koperasi kita sebagai soko guru perekonomian bangsa. dikukuhkan
dengan keberpihakan pemerinatah terhadap koperasi, serta pengakuan dunia
terhadap adanya induk koperasi dunia (ICA).
Namun kini, genderang perang mulai disalahtafsirkan oleh para prajurit. Mereka
menganggap hal tersebut merupakn tanda untuk bersekutu dengan sang bapak untuk
mencari nilai tambah. Tak heran, jika kamu memandang hina dan jijik karena genderang
sudah berubah tafsir dari “KOPERASI” menjadi “KUPERASI”. Hal ini dibuktikan
dengan menjamurnya Koperasi penghisap darah, wajar jika disebut Lintah Darat.
Mereka, di butakan oleh suku bunga yang rendah, pembagian sisa hasil usaha, dan
pelaksanaan secara demokrasi. Semua itu hanyalah secuil janji manis dari sang
pemilik modal.
Syahdan, seorang janda tua yang tinggal bersama ke lima kucingnya di
belantara pohon beton, mendengar suara genderang yang begitu gagah menyuarakan isu sosial
demokrasi. Suara tersebut membuat sang janda terbuai akan indahnya mimpi
tentang keadilan dan demokrasi, karena
nyanyian sang parjurit. Namun, setelah sang janda terjaga dari mimpinya, ia
menyadari bahwa genderang dan nyanyian sang prajurit adalah bohong belaka. Tak
ada keadilan, tak ada demokrasi, dan tak ada lagi prajurit yang menyanyikan
gerakan demokrasi ekonomi. Kini yang
tersisa hanyalah teriakan, makian dan cercaan deri genderang “KUPERASI” untuk
mencari nilai tambah. Sang janda kini
hanya terdiam seribu bahasa melihat kelima kucing miliknya mati perlahan
karena menahan lapar.
Janda tua tesebut hanyalah salah satu korban dari suara genderang yang
disalahtafsirkan oleh prajurit yang bersekutu dengan sang bapak. Semoga
genderang yang kita miliki masih berada di tangan parjurit yang rela mati
melawan sang bapak.